Assalamu'alaykum

Ahlan Wa Sahlan

Selasa, 19 April 2011

Antara Emansipasi dan Fitrah Seorang Wanita

Pada masa sekarang, kita banyak melihat wanita lebih senang bekerja meniti karier di luar rumah, berlomba dengan para kaum adam dalam meraih berbagai kesuksesan dibandingkan dengan keberadaan mereka di rumah mendidik anak, mengerjakan berbagai urusan rumah tangga, dan menuntut ilmu. Mereka menganggap bahwa wanita selalu saja diidentikkan dengan rumah sehingga menjadi sebuah ancaman perampasan hak mereka untuk maju dan berkarya. Emansipasi wanita dan kesetaraan gender, mungkin dua hal inilah yang menjadi alasan banyak wanita untuk membenarkan keputusan mereka berkarier bahwa wanita berhak berdikari dan untuk membuktikan bahwa kaum wanita juga berhak disejajarkan dengan kaum adam. Dua hal inilah yang kini banyak disuarakan para penganut paham feminis.

Sebenarnya, baik wanita maupun laki-laki merupakan manusia dengan seperangkat potensi yang ada dalam dirinya. Mereka dibekali potensi berupa akal dan naluri (untuk beragama, melestarikan keturunan dan mempertahankan diri), serta kebutuhan jasmani sebagai sarana untuk mengabdi kepada Sang Maha Pencipta. Oleh karena itu, diberikan hak dan kewajiban yang sama antara pria dan wanita; seperti kewajiban dalam beribadah, amar makruf nahi mungkar dan sebagainya.

Akan tetapi, ada perbedaan dalam pembebanan hukum (hak dan kewajiban) yang bagi pria dan wanita. Kewajiban mencari nafkah dibebankan kepada kaum pria, tidak kepada wanita; masalah perwalian juga diserahkan hanya kepada kaum pria. Demikian pula dengan kepemimpinan dalam negara; jabatan kekuasaan ataupun pengaturan urusan umat secara langsung diberikan kepada kaum pria dan diharamkan kepada wanita. Sedangkan masalah kehamilan, penyusuan, pengasuhan anak, serta peran dan fungsi lain sebagai ibu dan pengatur rumahtangga (ummu wa rabbah al-bayt) dibebankan kepada wanita saja dan tidak kepada pria.

Semua pembedaan di atas tidak bisa dipandang sebagai bentuk diskriminasi atau ketidakadilan terhadap kaum wanita. Sebab, jika dicermati, pembedaan tersebut karena memang ada perbedaan tabiat fitri yang dimiliki oleh masing-masing, di samping menyangkut peran dan posisi masing-masing dalam keluarga dan masyarakat. Justru pembedaan ini merupakan cerminan dari ke-MahaAdil-an dan ke-MahaMurah-an Sang Pencipta kepada ciptaanNya; betapa wanita sangat dilindungi dan dijaga kehormatannya. Karenanya, dengan pembedaan ini, pria maupun wanita dituntut untuk saling mengisi dan berbagi dalam mengemban amanah sebagai hamba Allah, yang semuanya harus bermuara pada tujuan yang sama, yaitu meraih ridha Allah Swt.

Merebaknya paham sekularisme di tengah-tengah kehidupan yang melahirkan kebebasan dan gaya hidup individualis-materialistis rupanya telah memberikan pengaruh besar dan mengkondisikan untuk menerima apapun yang berbau ‘modern’. Wajar jika kemudian, kebahagiaan diukur dengan nilai-nilai yang bersifat duniawi, seperti terpenuhinya sebanyak mungkin kebutuhan jasmani atau sebanyak mungkin materi yang dihasilkan. Akhirnya, para wanita bersaing dengan kaum pria untuk menghasilkan karya dan mendapatkan materi sebanyak-banyaknya sehingga peran wanita sebagai istri dan ibu sering diabaikan dan dianggap tidak berarti, karena tidak dapat memberikan konstribusi secara ekonomi kepada keluarga.

Para wanita bersaing dengan pria untuk merebut posisi tertinggi dalam suatu pekerjaan, lembaga, bahkan dalam pemerintahan; tanpa mencermati terlebih dulu apakah langkah tersebut diperbolehkan atau tidak oleh Islam. Mereka bangga menjadi seseorang yang mampu memberi konstribusi besar secara materi kepada keluarga. Sebaliknya, mereka nyaris menanggalkan kebanggaannya menjadi seorang Muslimah serta kemuliaannya sebagai istri dan ibu, pengasuh dan pendidik bagi anak-anak dan masyarakatnya.

Wanita diibaratkan sebagai senjata bermata dua, apabila mereka baik dan menunaikan fungsi dasarnya sesuai dengan garis besar yang telah ditetapkan kepadanya, niscaya akan terbangun masyarakat Islam yang teguh memegang agamanya dan berakhlaq mulia. Akan tetapi, apabila wanita menyimpang dari fungsi dasar yang telah digariskan Islam kepadanya, berjalan pada jalur kesesatan dan jauh dari rambu-rambu kebaikan, saat itulah wanita menjadi senjata yang dapat merusak dan menghancurkan suatu masyarakat. Dari sini kita dapat mengetahui bahwa daripada meniti karier ternyata seorang wanita itu memiliki sebuah kewajiban yang luar biasa besar dan lebih mulia yakni menjadi anak, istri dan ibu yang terbaik untuk keluarganya. Dan sesuatu yang melewati batas fitrah seorang manusia maka itu tidak akan pernah mendatangkan kebaikan walaupun kebanyakan orang menganggap hal itu baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar