Assalamu'alaykum

Ahlan Wa Sahlan

Rabu, 26 Februari 2014

RUTE BUS KOPAJA

Buat kalian yang suka ngebolang...hehe.enaknya sih naik motor tapi jika situasi hujan kalo belum punya kendaraan pribadi ya naik kendaraan umum...Kebetulan profesi saya sekarang ini membuat saya sering ngebolang, alhamdulillah jadi tambah tau jalan dan lokasi2 lainnya. Nah, tujuan sekarang dari pasar minggu menuju margonda depok, ini rute via kopaja..cekidot!

Kopaja 63 Blok M-Depok Terminal Depok> Margonda Raya> Fly over UI> Lenteng Agung> Tanjung Barat> R.A Kartini> Gerbang Tol Pasar Minggu

Kalo dari duren tiga naik kopaja 57 dulu pe pasar minggu trus dari gerbang tol pasar minggu naik kopaja 63 ke depok.

Mudah-mudahan ini gk ada perubahan ya jadi gak nyasar di petualangan kali ini.. Semangaaaat!!!

Sumber: http://transportinfo.web.id/2010/05/14/rute-bis-kopaja/

Selasa, 19 April 2011

Guru, Pahlawan Berjasa Tanpa Tanda Jasa

Guru merupakan salah satu profesi mulia yang sangat penting. Dan penyumbang terbesar bagi kemajuan suatu bangsa. Betapa tidak, profesi yang satu ini tidaklah hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga mendidik dan menempa berbagai karakter manusia untuk mencapai satu tujuan yaitu menjadi manusia yang seutuhnya. Karena kemuliaanya itulah maka tidak mudah menjadi seorang guru. Perlu kekuatan diri (kesabaran, pengendalian diri) selain ilmu yang mumpuni.

Banyak contoh perjuangan seorang guru diantaranya Umar Bakrie dan Bu Muslimah (dalam kisah Laskar Pelangi). Mereka adalah sosok-sosok guru yang memiliki dedikasi tinggi dalam pendidikan. Tidak seberapa memang jika dilihat dengan mata dunia, tetapi loyalitas mereka memberi energi tersendiri bagi anak didik mereka, bahkan secara tidak langsung para pembaca kisah mereka akan merasakan energi itu, yakni energi dari sebuah ketulusan dan keikhlasan yang tidak akan mampu terbayarkan.

Maka tidaklah salah ketika dikatakan bahwa guru merupakan satu amalan yang pahalanya senantiasa mengalir bahkan ketika guru tersebut telah wafat. Sebab ilmu yang disampaikannya selalu digunakan oleh para anak didiknya hingga mereka menjadi seorang yang sukses dengan profesi yang berbeda-beda. Tanpa jasa seorang guru belum tentu kita berada di posisi kita saat ini. Seperti apapun kondisi guru kita, perubahan seperti apapun yang terjadi pada mereka. Mereka tetaplah guru kita yang pernah mengajarkan ilmu dan kebaikan kepada kita. Semoga Allah senantiasa merahmati setiap guru yang selalu tulus dan ikhlas dalam menjalankan profesi mulia ini. Aamiin.

Antara Emansipasi dan Fitrah Seorang Wanita

Pada masa sekarang, kita banyak melihat wanita lebih senang bekerja meniti karier di luar rumah, berlomba dengan para kaum adam dalam meraih berbagai kesuksesan dibandingkan dengan keberadaan mereka di rumah mendidik anak, mengerjakan berbagai urusan rumah tangga, dan menuntut ilmu. Mereka menganggap bahwa wanita selalu saja diidentikkan dengan rumah sehingga menjadi sebuah ancaman perampasan hak mereka untuk maju dan berkarya. Emansipasi wanita dan kesetaraan gender, mungkin dua hal inilah yang menjadi alasan banyak wanita untuk membenarkan keputusan mereka berkarier bahwa wanita berhak berdikari dan untuk membuktikan bahwa kaum wanita juga berhak disejajarkan dengan kaum adam. Dua hal inilah yang kini banyak disuarakan para penganut paham feminis.

Sebenarnya, baik wanita maupun laki-laki merupakan manusia dengan seperangkat potensi yang ada dalam dirinya. Mereka dibekali potensi berupa akal dan naluri (untuk beragama, melestarikan keturunan dan mempertahankan diri), serta kebutuhan jasmani sebagai sarana untuk mengabdi kepada Sang Maha Pencipta. Oleh karena itu, diberikan hak dan kewajiban yang sama antara pria dan wanita; seperti kewajiban dalam beribadah, amar makruf nahi mungkar dan sebagainya.

Akan tetapi, ada perbedaan dalam pembebanan hukum (hak dan kewajiban) yang bagi pria dan wanita. Kewajiban mencari nafkah dibebankan kepada kaum pria, tidak kepada wanita; masalah perwalian juga diserahkan hanya kepada kaum pria. Demikian pula dengan kepemimpinan dalam negara; jabatan kekuasaan ataupun pengaturan urusan umat secara langsung diberikan kepada kaum pria dan diharamkan kepada wanita. Sedangkan masalah kehamilan, penyusuan, pengasuhan anak, serta peran dan fungsi lain sebagai ibu dan pengatur rumahtangga (ummu wa rabbah al-bayt) dibebankan kepada wanita saja dan tidak kepada pria.

Semua pembedaan di atas tidak bisa dipandang sebagai bentuk diskriminasi atau ketidakadilan terhadap kaum wanita. Sebab, jika dicermati, pembedaan tersebut karena memang ada perbedaan tabiat fitri yang dimiliki oleh masing-masing, di samping menyangkut peran dan posisi masing-masing dalam keluarga dan masyarakat. Justru pembedaan ini merupakan cerminan dari ke-MahaAdil-an dan ke-MahaMurah-an Sang Pencipta kepada ciptaanNya; betapa wanita sangat dilindungi dan dijaga kehormatannya. Karenanya, dengan pembedaan ini, pria maupun wanita dituntut untuk saling mengisi dan berbagi dalam mengemban amanah sebagai hamba Allah, yang semuanya harus bermuara pada tujuan yang sama, yaitu meraih ridha Allah Swt.

Merebaknya paham sekularisme di tengah-tengah kehidupan yang melahirkan kebebasan dan gaya hidup individualis-materialistis rupanya telah memberikan pengaruh besar dan mengkondisikan untuk menerima apapun yang berbau ‘modern’. Wajar jika kemudian, kebahagiaan diukur dengan nilai-nilai yang bersifat duniawi, seperti terpenuhinya sebanyak mungkin kebutuhan jasmani atau sebanyak mungkin materi yang dihasilkan. Akhirnya, para wanita bersaing dengan kaum pria untuk menghasilkan karya dan mendapatkan materi sebanyak-banyaknya sehingga peran wanita sebagai istri dan ibu sering diabaikan dan dianggap tidak berarti, karena tidak dapat memberikan konstribusi secara ekonomi kepada keluarga.

Para wanita bersaing dengan pria untuk merebut posisi tertinggi dalam suatu pekerjaan, lembaga, bahkan dalam pemerintahan; tanpa mencermati terlebih dulu apakah langkah tersebut diperbolehkan atau tidak oleh Islam. Mereka bangga menjadi seseorang yang mampu memberi konstribusi besar secara materi kepada keluarga. Sebaliknya, mereka nyaris menanggalkan kebanggaannya menjadi seorang Muslimah serta kemuliaannya sebagai istri dan ibu, pengasuh dan pendidik bagi anak-anak dan masyarakatnya.

Wanita diibaratkan sebagai senjata bermata dua, apabila mereka baik dan menunaikan fungsi dasarnya sesuai dengan garis besar yang telah ditetapkan kepadanya, niscaya akan terbangun masyarakat Islam yang teguh memegang agamanya dan berakhlaq mulia. Akan tetapi, apabila wanita menyimpang dari fungsi dasar yang telah digariskan Islam kepadanya, berjalan pada jalur kesesatan dan jauh dari rambu-rambu kebaikan, saat itulah wanita menjadi senjata yang dapat merusak dan menghancurkan suatu masyarakat. Dari sini kita dapat mengetahui bahwa daripada meniti karier ternyata seorang wanita itu memiliki sebuah kewajiban yang luar biasa besar dan lebih mulia yakni menjadi anak, istri dan ibu yang terbaik untuk keluarganya. Dan sesuatu yang melewati batas fitrah seorang manusia maka itu tidak akan pernah mendatangkan kebaikan walaupun kebanyakan orang menganggap hal itu baik.

Senin, 11 April 2011

GURUKU

Haris Shaffix-nasyid-

Pernah ku lihat lelah di bola matamu
namun senyum selalu hiasi bibirmu
meredam bara emosiku yang menggebu
tak patuhimu padahal baik bagiku

hoo...hoo...

kau buka mata dan hatiku yang membeku
ku genggam dunia dengan memahami ilmu
dalam tertatih tak pernah kau tinggalkanku
dengan sabarmu ku tau yang ku tak tau

engkau guruku
apa kabarmu
walau dimana berada
semoga berjuta doa untukmu slamanya

*reff
ajari kepakkan sayapku tuk terbang
menuju langit tinggi meraih bintang
kau selalu ku kenang
ooo.......
sluruh pengabdian yang engkau beri
meski ku coba dengan sepenuh hati
tak akan terganti
ooo......
trimakasih oh guruku
kau slalu jadi pahlawanku

*
terimakasih guruku
kau adalah pahlawanku

Senin, 21 Maret 2011

Pengorbanan Luar Biasa Mereka Yang Cinta Buku dan Ilmu

Ulama besar itu sedang jatuh sakit. Parah. Seluruh tubuhnya terasa payah. Persendiannya ngilu dan tulang-tulangnya kaku. Dia hanya bisa tergolek di atas tempat tidur, tak kuasa bergerak dan beranjak sedikit pun dari sana. Namun kondisinya yang sangat lemah itu, tak juga menyurutkan semangatnya untuk terus berbagi ilmu, membaca dan menelaah buku-buku, serta berdisukusi dengan murid-muridnya.

Dokter yang didatangkan untuk mengobatinya, pun begitu prihatin melihat keadaannya. Setelah memeriksanya, dokter itu berkata, “Aktivitas Anda yang banyak membaca dan berdisukusi tentang ilmu, telah membuat sakit Anda semakin berat.”

“Tapi, aku tidak bisa bersabar untuk melakukan itu. Akan aku buktikan sesuai dengan ilmu Anda. Bukankah jiwa itu jika bisa merasakan kebahagiaan, ketenangan dan kenyamanan, maka perasaan itu akan mampu menyembuhkannya dari penyakit?” kilahnya dengan nafas sedikit tersengal.
“Tentu,” jawab sang dokter singkat.
“Jiwaku akan merasa senang jika ia bisa berinteraksi dengan ilmu,” tambahnya memberi alasan.

Tak berapa lama, dengan tetap menuruti kata hatinya untuk terus membaca, ulama besar itu pun kembali sehat seperti sedia kala. Dia mengobati sakitnya dengan membaca. Melihat keadaannya yang membaik, dokter yang pernah merawat dan menasehatinya, hanya bisa berkata, “Ini di luar terapi yang biasa kami berikan.”

Ulama besar tersebut tak lain adalah Ibnu Taimiyah; sosok yang semasa hidupnya sangat lekat dengan kesederhanaan, kemiskinan, dan penjara, tetapi tetap ceria dan selalu bersahaja. “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih merasakan kenikmatan hidup dari pada Ibnu Taimiyah. Meskipun hidupnya dalam kesederhanaan, kemiskinan, tahanan dan di bawah ancaman, tetapi ia adalah orang yang paling lapang dadanya, sehingga wajahnya selalu terlihat berseri-seri,” tutur salah seorang muridnya, Ibnu Qayim Al-Jauziyah, menceritakan tentang pribadinya.

Sederhana dan bersahaja mungkin sebuah sikap yang memang sangat lekat pada diri seorang Ibnu Taimiyah. Tetapi yang lebih menarik dari sekadar itu, adalah semangat keilmuannya yang tinggi. Semangat telaah dan bacanya yang hebat, yang mampu meringankannya dari rasa sakit yang menimpanya. Sejak kecil semangat itu telah ada, dan tak pernah menyusut karena terpengaruh oleh kenikmatan-kenikmatan duniawi. Dia tak pernah merasakan makanan enak dan lezat, dan hanya memakan apa adanya baik di pagi hari maupun malam hari. Dia juga tak pernah surut meski harus bersua dengan beragam cobaan dan siksaan. Ia hanya sibuk membaca dan mendalami banyak macam ilmu. Ia rajin belajar, menulis dan meriwayatkan hadits sehingga ia mampu menghimpun hadits-hadits yang tak dimiliki orang lain. Selain belajar, ia juga menyebarkan ilmunya. Ia mengajarkan hadits di beberapa daerah seperti Damaskus, Mesir dan Iskandaria. Meski di daerah-daerah itu ia menghadapi bermacam siksaan dan cobaan. Bahkan ketika di Damaskus lah, ia sempat ditahan dua kali hingga akhirnya wafat di sana tahun 728 H, di dalam penjara.

Ibnu Taimiyah seolah tenggelam dalam ilmu. Karena ilmu ia kemudian tidak menikah. Dan karena ilmu; semangatnya menelaah dan menulis, ia mampu menghasilkan lebih dari 500 jilid buku dari sekitar 350 judul, yang menyebar di mana-mana. Cintanya pada ilmu dan buku, lebih kuat dari cinta kita pada apapun yang sangat kita sukai. Dan mungkin dialah contoh yang ingindigambarkan Ibnu Qayim dalam sebuah ungkapannya, “Adapun para pecinta ilmu, mereka lebih terpesona dengan ilmu melebihi terpesonanya seorang laki-laki kepada kekasihnya. Dan kebanyakan diantara mereka tidak pernah disibukkan oleh seseorang (yang dicintainya) seperti mereka disibukkan dengan imu.”

Ibnu Rajab pun memuji sikapnya yang memilih membujang dari pada menikah. Dia berkata, “Inilah dampak positif dari membujang, yang akan terus bermanfaat bagi para penuntut ilmu dan para ulama sepanjang masa. Betapa banyak hasil karyanya yang tersebar di seluruh dunia Islam sejak zamannya hingga hari kiamat nanti, Insya Allah.”

Kecintaan pada ilmu dan sarana-sarananya; membaca, menulis, dan membelanjakan harta demi buku, adalah tradisi ulama kita yang telah ada sejak dulu. Mereka adalah orang-orang yang tak pernah puas dengan ilmu, dan tak pernah bosan untuk menimbanya. Salah seorang murid Ibnu Taimiyah, Al-Hafidz Ibnu Abdul Hadi, pernah berkata, “Jiwaku tidak pernah kenyang dengan ilmu, tidak pernah puas dengan membaca, tidak pernah bosan dengan kesibukan itu, dan tak pernah letih untuk terus menelaah dan mencari.”

Mereka, ketika bertemu dengan sebuah buku yang belum pernah mereka baca, seakan menemukan harta karun yang berharga. Ibnul Jauzi pernah bercerita tentang dirinya, “Aku menceritakan keadaanku, aku tidak pernah kenyang membaca buku. Jika aku mendapati sebuah buku yang belum kubaca, aku seakan menemukan sebuah harta karun yang sangat berharga.”

Suatu saat, dia juga pernah mengatakan, “Aku telah menyaksikan deretan kitab-kitab di Madrasah Nizhamiyah. Ternyata, kitab-kitab yang terpajang di sana mencapai 6 ribu jilid buku, diantaranya ada kitab-kitab Abu Hanifah, kitab-kitab Al-Humaidi, ada kitab-kitab dari guru kami Abdul Wahab bin Nashir, kitab-kitab Abu Muhammad Al Khasyib, dan banyak lagi yang lain, dan aku merasa bahwa sudah pernah membacanya. Kalau boleh aku katakan, sungguh aku telah membaca lebih dari 20 ribu jilid, tetapi aku masih terus mencari.”

Ulama kita adalah orang yang sangat mencintai buku, dan penuh semangat membacanya. Buku adalah barang mahal bagi mereka, yang selalu harus ada dan tersedia, dengan cara apapun mereka mendapatkannya. Muhammad bin Ya’kub Al-Fairuz Abadi, misalnya. Setiap kali bepergian ia selalu membawa bukunya. Ia selalu membaca dan berpikir. Terdorong oleh kecintaan yang begitu kuat, ia pernah membeli buku dengan emas seharga 50 dinar.

Sedang Al-Jahizh, salah seorang sastrawan ternama, setiap kali mendapatkan buku ia selalu membacanya dari awal hingga akhir. Ia sangat mencintai buku. Ia bahkan menyewa toko-toko buku dan menginap di sana untuk menelaah.

Ada lagi Abul ‘Ala Al-Hamadzani. Ketika kitab-kitab Ibnul Jawaliqi dilelang di kota Baghdad, saat itu ia turut hadir. Penjual menawarkan satu paket dengan harga 60 dinar. Abul ‘Ala pun membelinya dengan menangguhkan pembayaran hingga hari Kamis berikutnya. Tenyata, selang waktu itu dia gunakan untuk kembali ke kampung halamannya. Di sana ia jual rumah miliknya dengan harga 60 dinar untuk membayar harga buku tersebut. Kisah Abul ‘Ala sangat mirip dengan kisah Ibnu Najar yang menggadaikan rumahnya seharga 500 dinar untuk digunakan membeli buku.

Mereka melakukan itu, tentu karena mereka memandang bahwa buku dan ilmu itu jauh lebih berharga dari apa mereka keluarkan. Mereka lebih mencintai tumpukan buku dari pada tumpukan harta. Merekalah yang dikatakan Al-Jahiz dalam sebuah ungkapannya, “Orang yang kehabisan nafkah dan harta benda yang dia keluarkan untuk mendapatkan buku yang dia inginkan, lebih dia sukai dari pada membeli seorang budak perempuan yang cantik, memperturutkan syahwatnya membuat bangunan mewah, maka dia tak akan mendapatkan ilmu yang memberi kepuasan, dan harta yang diinfakkannya tak akan bermanfaat untuknya sampai dia mengutamakan membelanjakannya untuk buku-buku, seperti seorang badui yang lebih memprioritaskan susu kudanya untuk keluarganya, atau sampai mengharapkan sesuatu dari ilmunya seperti seorang badui yang mengharpkan sesuatu dari kudanya.”

Para pecinta ilmu selalu menemukan kepuasan dalam bacaan-bacaan mereka. Jiwa mereka terasa ringan dan dada mereka terasa lapang, manakala bertemu buku dan punya kesempatan untuk membacannya.

Salman Al-Hambali, salah seorang guru Ibnu Hajar Al-Asqalani, mengatakan, “Tidur siang yang engkau tinggalkan untuk bisa membaca buku, yang tidak mendatangkan harta untukmu, maka katakanlah, “Biarkan aku (melakukan ini), semoga aku dapat menemukan buku yang bisa menunjukkan kepadaku bagaimana aku mendapatkan buku (catatan amal)ku dengan aman dan dengan tangan kanan.”

Seorang syaikh pernah berkata, “Aku ingat, suatu kali aku membeli buku di kota Riyadh setelah itu aku berjalan ke arah timur. Tapi rasanya aku tak dapat meneruskan perjalananku karena ketertarikanku yang sangat pada buku itu. tidak ada yang bisa kulakukan kecuali berhenti di jalan lalu buku itu aku baca hingga selesai seluruhnya, setelah itu barulah perjalanan aku lanjutkan.”

Dengan membaca buku mereka merasa memiliki semangat untuk terus hidup. Membaca adalah sarana menyambung nafas untuk mempertahankan eksistensi diri mereka. Sangat benar apa yang dikatakan seorang diantara mereka, “bacalah, agar engkau bisa hidup.”

Inilah potensi besar yang sebenarnya pernah ada dalam tubuh umat ini. Dulu, umat ini pernah berjaya oleh karena kecintaan mereka yang kuat terhadap ilmu. Budaya membaca dan menuntut ilmu di kalangan para ulama sangat menakjubkan. Mereka sudah bisa berdiri dengan tegak dengan segenap cahaya, saat umat lainnya masih diliputi kegelapan. Potret kehidupan mereka perlu menjadi teladan untuk kehidupan kita masa kini; mengorbankan harta untuk ditukar dengan buku dan ilmu pengetahuan.

Membaca adalah kata yang menunjukkan permulaan wahyu, dan penanda lahirnya kenabian pada diri Rasulullah SAW yang menjadi penerang bagi manusia dan segenap alam. Membaca adalah titik balik paling fundamental pada perubahan sejarah kemanusiaan dari kekufuran dan kesesatan mereka, menuju cahaya iman, tauhid dan hidayah; juga dari tradisi suram kepada nilai-nilai moral, akhlak dan etika; dari kebutaan hati kepada penglihatan yang berdasarkan iman. Para pendahulu kita sangat memahami itu, dan karena itulah mereka terus membaca dan tak pernah bosan melakukannya. Mereka memiliki tradisi itu dalam kehidupan mereka dan berusaha mewariskannya kepada generasi setelah mereka.

Namun tampaknya, tradisi yang baik itu kini seakan tidak terlalu mendapatkan perhatian. Bukan hanya oleh orang-orang awam, tetapi kita dan mereka yang hidupnya sangat dekat dengan sarana-sarana ilmu dan profesi-profesi keilmuan, juga tak terlalu mempedulikan buku, dan membacanya. Seorang syaikh berkata, “Kalau kita perhatikan para mahasiswa kita hari ini, mereka terlihat jarang membaca. Padahal sesungguhnya mereka baru memulai belajar. Aneh. Sungguh aneh. Mereka seperti merasa telah memiliki banyak ilmu. Padahal Ibnu Jauzi menasehatkan, ‘Hal yang paling baik adalah berbekal dengan ilmu. Siapa yang merasa cukup dengan ilmu yang dia miliki dan puas dengannya sehingga tidak mau mendengar pendapat orang lain, kemudian terlalu membesarkan dirinya, maka dia akan terhalang dari memperoleh manfaat. Dengan terus membaca dan belajar, akan tampaklah kesalahannya.’”

Seringkali, setelah kita menyelesaikan satu jenjang pendidikan, terkadang ada bisikan dalam hati yang mengatakan bahwa kita telah melewati fase belajar, dan karena itu tak perlu lagi membaca. Kita bahkan kerap merasa diri sudah cukup berilmu. Kita lupa, atau sengaja melupakan keadaan ulama kita dalam berinteraksi dengan ilmu, yang tidak pernah berhenti hingga ajal menjemputnya.

Ada kemalasan yang sering muncul karena kita tak menemukan kenikmatan dalam membaca. Membaca tidak menyentuh jiwa kita, sebagaimana dirasakan para ulama, di mana bagi mereka membaca adalah alat pemuas jiwa.

Secara umum, mungkin kita memang sangat jarang membaca. Tradisi keilmuan kita sangat jauh berbeda dengan para pendahulu kita; salafusshalih dan pengikut mereka. Tetapi tidak berarti bahwa kita semua benar-benar menjauhi buku. Di tengah-tengah kita, masih banyak orang-orang yang dengan kebersahajaan dan kesederhanaannya tak pernah lepas dari buku. Selalu rajin membaca, kapan pun dan dimana saja. [Sulthan Hadi, sumber: Majalah Tarbawi edisi 224]

Jadilah Wanita yang Paling Bahagia


Karya: Dr.’Aidh bin ‘Abdullah Al-Qarni


Selamat untuk Anda
Karena anda wanita yang sholat, puasa, taat, lagi patuh.
Berhijab (berjilbab), pemalu, anggun, lagi berkepribadian kokoh
Berpendidikan, gemar membaca, sadar, lagi mempunyai petunjuk yang benar.
Setia, terpercaya, jujur dan suka berderma.
Penyabar, selalu berharap akan pahala Allah, bertaubat dan senantiasa kembali ke jalan-Nya.
Banyak berzikir, bersyukur, berdo’a, lagi penuh kesadaran.
Mengikuti jejak Aisyah, Maryam dan Khadijah.
Mendidik calon-calon pahlawan dan mencetak calon-calon tokoh yang terkemuka.
Memelihara norma-norma etika lagi memelihara idealisme yang tinggi.
Membela hal-hal yang disucikan dan jauh dari hal-hal yang diharamkan.

Ya
Ya, dengan senyum cantik anda yang membangkitkan rasa cinta dan menebar kasih sayang kepada orang lain.
Dengan tutur kata baik anda yang dapat menjalin persahabatan yang dianjurkan syari’at dan menghapus semua rasa dengki.
Ketulusan derma anda yang dapat membahagiakan orang miskin, menggembirakan orang fakir, dan mengenyangkan orang yang lapar.
Duduk manis bersama Al-Qur’an seraya membaca, merenungi makna, mengamalkan kandungannya, bertaubat, dan memohon ampun kepada-Nya.
Banyak zikir, memohon ampun, rajin berdo’a dan suka memperbaharui tobat.
Mendidik anak-anak anda untuk mendalami agama, mengajari mereka sunah dan membimbing mereka kepada hal-hal yang berguna bagi mereka.
Rasa malu dan hijab seperti yang diperintahkan Allah kepada anda sebagai sarana memelihara diri dan kehormatan anda.
Berteman bersama wanita-wanita baik dikalangan mereka yang mempunyai rasa takut kepada Allah, menyukai pengamalan agama, dan menghormati norma-norma etika.
Berbakti kepada orang tua, bersilaturahim, menghormati tetangga, dan menjamu anak-anak yatim.
Membaca buku-buku yang bermanfaat, menelaah bacaan yang berguna, maka hal itu benar-benar merupakan hal yang amat menyenangkan lagi memberikan informasi yang benar.

Tidak
Tidak, anda tidak akan menghabiskan usia anda untuk hal-hal yang sepele, seperti suka mengadakan pembalasan dan berdebat tentang hal-hal yang tidak mengandung kebaikan.
Tidak akan menghasilkan uang dan menghimpunnya dengan

Sekilas Kisahku di UNJ

       Alhamdulillah diterima di UNJ, Jurusan Pendidikan Matematika tanpa tes.Walaupun awalnya tidak pernah terpikirkan masuk UNJ,tetapi saya percaya tiada rencana sebaik rencana Allah. Bismillah...
       Pertama kali masuk gerbangnya,subhanallah... "hijau". Padahal yang ada dibenak saya, bahwa kampus di Jakarta itu pastinya panas, itulah mengapa saya tidak berminat kuliah di Jakarta awalnya. "Wah,berarti awal yang bagus", kataku dalam hati. Selanjutnya, mengurus berkas-berkas. Sambutan hangat pun saya peroleh dari kakak-kakak mahasiswa beralmamater hijau. Yang paling saya ingat waktu itu Kak Gita, mahasiswi Jurusan Matematika angkatan 2004. Orangnya cantik, putih, agak gemuk, pakai kaca mata. Dia yang pertama kali memberitahu saya jalan menuju kampus B dimana Fakultas MIPA berada. "O,saya kira FMIPA di kampus ini Kak", kataku padanya. Dan dia menjelaskan banyak hal yang sekiranya perlu saya ketahui terkait kampus dan serba-serbinya.
       Selanjutnya, kisah di Kampus B, UNJ. "Hijau...bahkan lebih hijau...", lagi-lagi hal itu yang pertama terlintas di benak saya. Jadi semangat! Lalu dimulailah kisah hidupku di Kampus B ini. Selain ada gedung FMIPA dan FIK, pada waktu itu ada sebuah masjid di bawah naungan pohon beringin nan rindang, MUA (Masjid Ulul Albaab). Tapi, sekarang masjidnya sudah dibangun lebih bagus. Keramahan para pengurus MUA waktu itu, menjadi daya tarik tersendiri bagi mahasiswa baru seperti saya. Ketertarikan ini yang membawa saya tiga tahun di UNJ menjadi pengurus MUA. Hehe.Beberapa momen awal menjadi mahasiswa baru seperti MPA, SCIENCE CAMP, SISKOM XV, dll. Full manfaat. Trimakasih kakak-kakak semua... semoga yang telah kalian persembahkan bagi kami mahasiswa baru ketika itu mendapat imbalan pahala terbaik dari Allah dan semoga sekarang ini kalian dalam kondisi terbaik dalam menerapkan semua ilmu yang diperoleh selama di kampus.
       Perjalanan pun berlanjut hingga saya bergabung menjadi bagian dari keluarga besar MUA dan LDK UNJ. Alhamdulillah banyak ibroh yang saya peroleh, khususnya skill yang tidak bisa saya peroleh ketika kuliah di kelas. Ya, walaupun jatuh bangun, tapi dengan keyakinan bahwa yang kita lakukan adalah baik dan benar maka insya Allah semua akan bermanfaat nantinya bagi diri kita dan orang lain di masa depan. Untuk bapak-ibu dosen, terima kasih atas semua ilmu dan nasihat, semoga bermanfaat dunia sampai akhirat. Untuk teman-teman mahasiswa UNJ, SEMANGKA!!! 'SEMANGat KAwan!!!'